Biografi Pengusaha Sukses: Sukamdani Sahid Gitosardjono
Mendengar namanya Sukamdani Sahid Gitosardjono mungkin tak akan memberikan gambaran apapun di benak anda. Namun, bila kita berbicara tentang nama Hotel Sahid, makalah anda akan tersadar akan suatu hal. Ya, ia lah sang pemilik Sahid Group sekaligus menjadi pemilik Hotel Sahid. Pengusaha asli Indonesia bukan keturunan dan sukses membangun jaringan hotel salah satu yang terbesar di Indonesia. Dia juga bukan dari keluarga berada membuatnya memulai bisnis dari nol.
Kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Maret 1928, dia adalah putra dari pasangan R.Sahid Djogosentono dan R Ngt Hj Sadinah. Waktu kecil Sahid (panggilan akrab Sukamdani Sahid Gitosardjono) banyak dihabiskan di Sukoharjo-Solo, Jawa Tengah. Ayah Sahid hanyalah seorang wiraswasta yang membuka usaha jahitan sedangkan sang bunda, dia membuka toko kecil-kecilan saja. Namun karena sejak kecil sudah mengenal wirausaha, ini membuat Sahid kreatif, selalu mencari tau bagaimana menghasilkan uang.
Bisnis dari kecil
Karena selalu membantu orang tua jadilah ia tau seluk beluk jual- beli. Dia selalu mendapatkan tugas untuk "kulakan" atau mengisi stok barang yang kosong. Sahid ditugaskan membeli barang dagangan untuk warung ibunya, seperti kelapa, sabun, teh, rokok, dan pisang. Jika barang dagangan tersebut laku dijual barulah Sahid mendapatkan persen keuntungan dari sang ibu. Mudah saja. Dia memang anak yang cerdas, ketika uang itu ditangan tidak langsung digunakan tapi ditabung.
Uang tabungan itu bukannya dihabiskan seketika dan akhirnya menjadi modal bisnisnya nanti. Dari uang yang ditabung dibelikan ayam lalu diternakan. Setelah ayamnya jadi banyak serta gemuk- gemuk barulah ayam- ayam itu dijualnya. Bukan dibelikan ayam lagi, ia justru membeli seekor kambing untuk diternakan kembali. Kambing terkumpul banyak, dibelikan kerbau dan diternakan lagi begitu seterusnya. Melalu metode inilah Sahid belajar tentang investasi. Tak puas berbisnis ternak, ia pun menjual jasanya untuk memanen padi.
Di umur 17 tahun kala itu perang kemerdekaan tahun 1945, daerah Sahid kekurangan bahan pangan. Disini ia berfikir bagaimana cara mencukupi bahan pangan untuk para tentara perang. Kala itu walau banyak juga penduduk yang memberi bantuan pangan kepada para tentara namun tentap saja kurang. Dia pun mendapat akal, ia mengumpulkan kain batik dari penduduk yang kemudian ditukar dengan beras. Beras itulah yang kemudian ia berikan kepada tentara- tentara tersebut. Selepas kemerdekaan, tepatnya di tahun 1952, Sahid telah mendirikan bisnis baru yaitu mensuplai bahan pangan kepada tentara.
Dia cukup mengumpulkan gaplek dari Wonogiri lalu dibawanya ke Solo, disana gaplek bisa ditukar beras. Dan, beras- beras itu pun yang menjadi modalnya untuk mensuplai para tentara. Ketika perang selesai, ia juga melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1952, Sahid remaja hijrah ke Jakarta dengan bermodal kopor dan sepeda angin. Ia diterima bekerja di Kementrian Dalam Negeri selepas melanjutkan pendidikan. Namun rasa gairah untuk berbisnis menggelora membuat dirinya tak betah menjadi pegawai walau hasilnya saat itu cukup menjanjikan dan dipandang terhormat. Sahid pun memilih untuk keluar dan meneruskan bisnisnya yang telah dirintisnya sembari bekerja.
Di Jakarta lah ia menemukan jodohnya, seorang gadis bernama Juliah anak dari Mangkunegara. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah pada 27 Mei 1953. Juliah adalah anak dari orang terpandang dan kaya-raya namun begitu dia bukanlah seorang anak manja. Terbukti ketika Sahid memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya dulu sebagai PNS dan memilih merintis usaha sendiri, dia lah yang menjadi pendukung dengan merestui apapun yang diputuskan sang suami. Bahkan Juliah secara aktif ikut membantu bisnis suaminya itu di awal.
Pasangan baru ini kemudian menyewa tempat di JL. Jendral Sudirman Jakarta. Bisnis pertama yang mereka lakukan bersama adalah sebuah bisnis percetakan. Sahid dan istrinya membeli alat-alat percetakan dari tabungan mereka sendiri. Awal memulai usaha segalanya mereka lakukan sendiri, Sahid sendiri lah yang mengurusi membeli bahan bahan seperti membeli kertas di JL. Tiang Bendera, Jakarta. Sahid juga yang melakukan antar jemput pesanan cetak dan juga melakukan penagihan. "Naik turun oplet, tak heran saya banyak kenalan non pri," kenangnya.
Walau telah sukses merintis bisnis sendiri, jaringan perkawanan Sahid ketika masih bekerja dulu tetap dijaganya. Dia adalah tipe orang yang supel, senang berorganisasi dan pandai bergaul. Itu memamng modal seseorang jika ingin sukses berbisnis. Sahid pun kemudian membuat organisasi yang menaungi usahawan percetakan di Indonesia. Dari sinilah Sahid kemudian bisa dekat dengan sosok Presiden Soekarno. Ini juga menjadi kesempatan baginya untuk lebih meluaskan jaringan usahanya, apalagi setelah berkenalan dengan seseorang sekelas presiden.
Bisnis percetakannya pun menjadi semakin ramai karena banyaknya order dari Departemen dalam negeri dan departemen keuangan, apalagi disaat peralihan ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta maka semakin banyak dokumen yang harus dicetak di sana. Saking banyaknya orderan Sahid harus membagi orderannya ini dengan percetakan lain yang ada di Surabaya, Bandung dan Semarang. Untunglah Sahid juga banyak membina hubungan dengan pengusaha percetakan di luar daerah sehingga ketika orderan membludak beliau tak keteteran menanganinya.
Yang membedakan Sahid dan pebisnis di masa Orde Baru bahwa kanyataan bahwa ia tak pernah meminta- minta. Pertemanannya dengan pejabat memang sebatas mencari teman, mengikat tali persaudaraan. Bisnis yang moncer sepenuhnya ia lakukan dengan paham profesionalitas. Percetakan Sahid akhirnya semakin maju saja dan mesin- mesinnya semakin canggih. Dia pun diangkat menjadi Presiden Direktur di perusahaan percetakan yang didirikannya. Pundi-pundi modalnya pun semakin berkembang pesat.
Akhirnya bisnis percetakan milik Sahid menjadi auto pilot atau bisa bekerja sendiri tanpa dirinya turun tangan langsung. Perlu sebuah ekspansi. Sahid tidaklah berpuas diri. Beliau melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka lembaga pendidikan. Dia mendirikan Akademi Grafika dan Sekolah Tinggi Grafika di tahun 1965.
Sebagai pengusaha tentulah ia sering bepergian ke luar daerah. Suatu hari, ketika sedang bepergian ke Medan, karena saat itu penerbangan begitu penuh membuat Sahid harus menginap di hotel untuk waktu yang cukup lama. Dari situ insting bisnisnya bekerja lagi. Dia berfikir bahwa untuk negara Indonesia yang sedang berkembang dan baru saja merdeka tentu bisnis perhotelan sangatlah diperlukan apalagi persaingannya belum begitu ketat. Akhirnya ketika sampai di Solo beliau langsung membangun hotel di sana. Modal yang digunakan adalah hasil dari bisnis percetakannya selama ini.
Ada cerita menarik ketika proses pembangunan Hotel Sahid. Ketika itu semen sangatlah langka karena kondisi Indonesia yang memang gencar-gencarnya membangun. Kesulitan mendapatkan semen juga dialami oleh Sahid kala itu. Akhirnya dengan terpaksa dan tidak berniat melanggar hukum ia pun memutuskan untuk menggunakan semen ilegal hasil selundupan. Ini dilakukannya agar proyek pembangunan Hotel Sahid segera diselesaikan agar bisa segera dijalankan. Setelah terbangun satu hotel, Sahid terus mengepakkan sayap di bisnisnya yang satu ini. Tahun demi tahun hotel yang dibangunnya bertambah banyak.
Bisnisnya yang lain pun semakin berjaya antara lain industri, perdagangan kertas, biro perjalanan, pariwisata, pertanian, konstruksi dan perkebunan. Sahid juga menjadi salah satu pendiri Harian Bisnis Indonesia hingga saat ini beliau menjabat sebagai pimpinan umum. Dia kemudian membuka bisnis pendidikan yang lain yaitu Universitas Veteran Bandung Nusantara di Sukoharjo melalui Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Sosial Sahid Jaya. Kemudian ia juga membuka Akademi Perhotelan pada tahun 1988 dan kemudian menjadi Universitas Sahid.
Selain berbisnis, Sukamdani Sahid juga membangun dan sekaligus menjadi pengurus pesantren di Bogor, Jawa Barat. Menurut Sukamdani Sahid, orang Islam terutama Santri harus piawai berbisnis. Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang juga seorang pengusaha. Bagi beliau kerja keras, keilmuan dan keimanan yang kuat adalah satu yang tak bisa dipisahkan. Ia kemudian menulis buku berjudul Wirausaha Berbasis Islam dan Budaya. Begitulah kisah dari pendiri jaringan Hotel Sahid, pengusaha pribumi yang sangat mandiri.
sumber: blogspot.com
Uang tabungan itu bukannya dihabiskan seketika dan akhirnya menjadi modal bisnisnya nanti. Dari uang yang ditabung dibelikan ayam lalu diternakan. Setelah ayamnya jadi banyak serta gemuk- gemuk barulah ayam- ayam itu dijualnya. Bukan dibelikan ayam lagi, ia justru membeli seekor kambing untuk diternakan kembali. Kambing terkumpul banyak, dibelikan kerbau dan diternakan lagi begitu seterusnya. Melalu metode inilah Sahid belajar tentang investasi. Tak puas berbisnis ternak, ia pun menjual jasanya untuk memanen padi.
Di umur 17 tahun kala itu perang kemerdekaan tahun 1945, daerah Sahid kekurangan bahan pangan. Disini ia berfikir bagaimana cara mencukupi bahan pangan untuk para tentara perang. Kala itu walau banyak juga penduduk yang memberi bantuan pangan kepada para tentara namun tentap saja kurang. Dia pun mendapat akal, ia mengumpulkan kain batik dari penduduk yang kemudian ditukar dengan beras. Beras itulah yang kemudian ia berikan kepada tentara- tentara tersebut. Selepas kemerdekaan, tepatnya di tahun 1952, Sahid telah mendirikan bisnis baru yaitu mensuplai bahan pangan kepada tentara.
Dia cukup mengumpulkan gaplek dari Wonogiri lalu dibawanya ke Solo, disana gaplek bisa ditukar beras. Dan, beras- beras itu pun yang menjadi modalnya untuk mensuplai para tentara. Ketika perang selesai, ia juga melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1952, Sahid remaja hijrah ke Jakarta dengan bermodal kopor dan sepeda angin. Ia diterima bekerja di Kementrian Dalam Negeri selepas melanjutkan pendidikan. Namun rasa gairah untuk berbisnis menggelora membuat dirinya tak betah menjadi pegawai walau hasilnya saat itu cukup menjanjikan dan dipandang terhormat. Sahid pun memilih untuk keluar dan meneruskan bisnisnya yang telah dirintisnya sembari bekerja.
Membuka bisnis percetakan
Di Jakarta lah ia menemukan jodohnya, seorang gadis bernama Juliah anak dari Mangkunegara. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah pada 27 Mei 1953. Juliah adalah anak dari orang terpandang dan kaya-raya namun begitu dia bukanlah seorang anak manja. Terbukti ketika Sahid memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya dulu sebagai PNS dan memilih merintis usaha sendiri, dia lah yang menjadi pendukung dengan merestui apapun yang diputuskan sang suami. Bahkan Juliah secara aktif ikut membantu bisnis suaminya itu di awal.
Pasangan baru ini kemudian menyewa tempat di JL. Jendral Sudirman Jakarta. Bisnis pertama yang mereka lakukan bersama adalah sebuah bisnis percetakan. Sahid dan istrinya membeli alat-alat percetakan dari tabungan mereka sendiri. Awal memulai usaha segalanya mereka lakukan sendiri, Sahid sendiri lah yang mengurusi membeli bahan bahan seperti membeli kertas di JL. Tiang Bendera, Jakarta. Sahid juga yang melakukan antar jemput pesanan cetak dan juga melakukan penagihan. "Naik turun oplet, tak heran saya banyak kenalan non pri," kenangnya.
Walau telah sukses merintis bisnis sendiri, jaringan perkawanan Sahid ketika masih bekerja dulu tetap dijaganya. Dia adalah tipe orang yang supel, senang berorganisasi dan pandai bergaul. Itu memamng modal seseorang jika ingin sukses berbisnis. Sahid pun kemudian membuat organisasi yang menaungi usahawan percetakan di Indonesia. Dari sinilah Sahid kemudian bisa dekat dengan sosok Presiden Soekarno. Ini juga menjadi kesempatan baginya untuk lebih meluaskan jaringan usahanya, apalagi setelah berkenalan dengan seseorang sekelas presiden.
Bisnis percetakannya pun menjadi semakin ramai karena banyaknya order dari Departemen dalam negeri dan departemen keuangan, apalagi disaat peralihan ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta maka semakin banyak dokumen yang harus dicetak di sana. Saking banyaknya orderan Sahid harus membagi orderannya ini dengan percetakan lain yang ada di Surabaya, Bandung dan Semarang. Untunglah Sahid juga banyak membina hubungan dengan pengusaha percetakan di luar daerah sehingga ketika orderan membludak beliau tak keteteran menanganinya.
Yang membedakan Sahid dan pebisnis di masa Orde Baru bahwa kanyataan bahwa ia tak pernah meminta- minta. Pertemanannya dengan pejabat memang sebatas mencari teman, mengikat tali persaudaraan. Bisnis yang moncer sepenuhnya ia lakukan dengan paham profesionalitas. Percetakan Sahid akhirnya semakin maju saja dan mesin- mesinnya semakin canggih. Dia pun diangkat menjadi Presiden Direktur di perusahaan percetakan yang didirikannya. Pundi-pundi modalnya pun semakin berkembang pesat.
Bisnis perhotelan
Akhirnya bisnis percetakan milik Sahid menjadi auto pilot atau bisa bekerja sendiri tanpa dirinya turun tangan langsung. Perlu sebuah ekspansi. Sahid tidaklah berpuas diri. Beliau melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka lembaga pendidikan. Dia mendirikan Akademi Grafika dan Sekolah Tinggi Grafika di tahun 1965.
Sebagai pengusaha tentulah ia sering bepergian ke luar daerah. Suatu hari, ketika sedang bepergian ke Medan, karena saat itu penerbangan begitu penuh membuat Sahid harus menginap di hotel untuk waktu yang cukup lama. Dari situ insting bisnisnya bekerja lagi. Dia berfikir bahwa untuk negara Indonesia yang sedang berkembang dan baru saja merdeka tentu bisnis perhotelan sangatlah diperlukan apalagi persaingannya belum begitu ketat. Akhirnya ketika sampai di Solo beliau langsung membangun hotel di sana. Modal yang digunakan adalah hasil dari bisnis percetakannya selama ini.
Ada cerita menarik ketika proses pembangunan Hotel Sahid. Ketika itu semen sangatlah langka karena kondisi Indonesia yang memang gencar-gencarnya membangun. Kesulitan mendapatkan semen juga dialami oleh Sahid kala itu. Akhirnya dengan terpaksa dan tidak berniat melanggar hukum ia pun memutuskan untuk menggunakan semen ilegal hasil selundupan. Ini dilakukannya agar proyek pembangunan Hotel Sahid segera diselesaikan agar bisa segera dijalankan. Setelah terbangun satu hotel, Sahid terus mengepakkan sayap di bisnisnya yang satu ini. Tahun demi tahun hotel yang dibangunnya bertambah banyak.
Bisnisnya yang lain pun semakin berjaya antara lain industri, perdagangan kertas, biro perjalanan, pariwisata, pertanian, konstruksi dan perkebunan. Sahid juga menjadi salah satu pendiri Harian Bisnis Indonesia hingga saat ini beliau menjabat sebagai pimpinan umum. Dia kemudian membuka bisnis pendidikan yang lain yaitu Universitas Veteran Bandung Nusantara di Sukoharjo melalui Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Sosial Sahid Jaya. Kemudian ia juga membuka Akademi Perhotelan pada tahun 1988 dan kemudian menjadi Universitas Sahid.
Selain berbisnis, Sukamdani Sahid juga membangun dan sekaligus menjadi pengurus pesantren di Bogor, Jawa Barat. Menurut Sukamdani Sahid, orang Islam terutama Santri harus piawai berbisnis. Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang juga seorang pengusaha. Bagi beliau kerja keras, keilmuan dan keimanan yang kuat adalah satu yang tak bisa dipisahkan. Ia kemudian menulis buku berjudul Wirausaha Berbasis Islam dan Budaya. Begitulah kisah dari pendiri jaringan Hotel Sahid, pengusaha pribumi yang sangat mandiri.
sumber: blogspot.com
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.