Biografi Pengusaha Sukses: Rizka Wahyu Romadhona
Langkahnya tak terhenti meski pernah gagal berbisnis. Kini usaha barunya yang ada di Jalan Pajajaran, Bogor, tak pernah sepi. Hampir setiap hari tokonya dijejali pengunjung dari berbagai negar yang ingin mencicipi kue lapis istimewa. Lantaran pembeli membludak, Rizka Wahyu Romadhona, pemilik kue lapis Sangkuriang memutuskan menggunakan sistem antrean untuk para pembeli. "Produksi kami masih terbatas," ujar wanita lulusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Surabaya ini.
Meski terbatas penjualan kue lapis berbahan talas atau umbi ini relatif besar. Memang kalo menelisik lebih dalam seharusnya Bogor adalah sumber bahan bakunya. Meski telah memiliki karyawan 60 orang, Rizka mengaku masih tetap kesulitan. Terlalu enak mungkin hingga permintaan itu terlalu banyak khususnya mereka yang dari luar kota. Selain gerai yang ada di Jalan Pajajaran, Rizka juga membuka dua cabang lain, di Jalan Sholeh Iskandar Bogor dan Jalan Raya Puncak, Ciawi.
Di luar sana masih ada sekitar 10 resellers yang tersebar di sekitar Bogor. Usahanya kini patut mengundang decak kagum. Maklum, perempuan asal Surabaya tersebut belum lama ini menjalani usaha. Tepatnya, pada Juni 2011, ia mulai membuat kue lapis berbahan talas. Semangatnya berwirausaha ada karena mendapatkan dukungan dari sang suami, Anggara Kasih Nugroho Jati. Bagi anda yang belum tau dia lah orangnya dibalik jaringan bisnis Bakso Kepala Sapi yang tersohor.
"Sejak dulu saya sudah sering jualan. Apa saja yang bisa dijual, seperti baju. Lalu, sewaktu masih kerja kantoran, saya jualan bakso, kenang wanita kelahiran Surabaya, 15 Juni 1984, ini. Rizka dan sang suami memang pasangan pebisnis. Keduanya bersama sang suami sedang bersemangat membangun bisnisnya. Keduanya merintis bisnis ini bersama, keduanya juga sama- sama almameter ITS. Rizka, yang saat itu masih berstatus karyawan suatu perusahaan telekomunikasi, selalu membawa bakso dalam kantong plastik dan dijual ke teman-teman sekantor.
"Kalau dijalani free time saja sudah bisa punya penghasilan lumayan, apalagi kalau diseriusin," pikirnya. Ia pun mantap resign untuk menjalani bisnis bakso.Bersama sang suami, Rizka total terjun menjadi pengusaha bakso saat itu. Selain memiliki gerai 2x3 meter di sebuah pusat perbelanjaan, ia juga memasok bahan bakso ke konsumen lamanya di Jakarta, mereka juga menawarkan kemitraan gerai bakso. Sayang usaha bakso mereka harus gulung tikar meski telah 3 tahun bertahan.
"Banyak mitra yang nakal, mencampur bakso kami dengan bakso lain, sehingga kualitas menurun," tutur dia. Mereka pun menuai rugi karena banyak gerai yang harus tutup. Ia harus menjual mobil. Bahkan, motor operasional rela ditarik leasing."Kami menunggak pembayaran angsuran rumah hingga empat bulan," kenang dia. Dalam keadaan terpuruk dan kepepet, keduany memutar otak, usaha apa yang selanjutnya mereka buat. Terinspirasi oleh ramainya pariwisata di Bogor, tebersitlah ide untuk membuat produk oleh-oleh khas Bogor.
Tak ingin mengulang pengalaman pahit saat berdagang bakso dahulu, ia memikirkan matang-matang konsep usahanya.Selain kualitas terjamin, produknya harus mempunyai ciri khas yang lekat dengan Kota Bogor. Itulah konsep yang coba ia kembangkan saat itu. Ia pun teringat kue lapis khas Surabaya yang begitu populer, "Di Bogor belum ada lapis seperti itu," kata dia. Lantas, Rizka meminta resep dari ibunya yang ada di Surabaya. Agar nuansa Kota Hujan tampak, ia menggunakan talas yang berlimpah di Bogor. Ia mencoba bahan baku ubi talas sebagai pengganti terigu.
Modal awalnya uang Rp 500.000 dan mixer milik mertua, perempuan 29 tahun ini kemudian membuat lapis talas. Semula Rizka menjual lapis talas itu ke tetangga, teman, arisan, serta kelompok pengajian. Namun, dia menyadari gaya pemasaran semacam itu tak bisa mendongkrak penjualan secara cepat. Ia pun menawarkan lapis talas ke beberapa hotel di Bogor. Tapi Sayang, usaha itu gagal. Tak kurang akal, Rizka pun melobi pimpinan perhimpunan pengusaha hotel dan restoran di Bogor.
Pasangan wirausahawan
"Sejak dulu saya sudah sering jualan. Apa saja yang bisa dijual, seperti baju. Lalu, sewaktu masih kerja kantoran, saya jualan bakso, kenang wanita kelahiran Surabaya, 15 Juni 1984, ini. Rizka dan sang suami memang pasangan pebisnis. Keduanya bersama sang suami sedang bersemangat membangun bisnisnya. Keduanya merintis bisnis ini bersama, keduanya juga sama- sama almameter ITS. Rizka, yang saat itu masih berstatus karyawan suatu perusahaan telekomunikasi, selalu membawa bakso dalam kantong plastik dan dijual ke teman-teman sekantor.
"Kalau dijalani free time saja sudah bisa punya penghasilan lumayan, apalagi kalau diseriusin," pikirnya. Ia pun mantap resign untuk menjalani bisnis bakso.Bersama sang suami, Rizka total terjun menjadi pengusaha bakso saat itu. Selain memiliki gerai 2x3 meter di sebuah pusat perbelanjaan, ia juga memasok bahan bakso ke konsumen lamanya di Jakarta, mereka juga menawarkan kemitraan gerai bakso. Sayang usaha bakso mereka harus gulung tikar meski telah 3 tahun bertahan.
"Banyak mitra yang nakal, mencampur bakso kami dengan bakso lain, sehingga kualitas menurun," tutur dia. Mereka pun menuai rugi karena banyak gerai yang harus tutup. Ia harus menjual mobil. Bahkan, motor operasional rela ditarik leasing."Kami menunggak pembayaran angsuran rumah hingga empat bulan," kenang dia. Dalam keadaan terpuruk dan kepepet, keduany memutar otak, usaha apa yang selanjutnya mereka buat. Terinspirasi oleh ramainya pariwisata di Bogor, tebersitlah ide untuk membuat produk oleh-oleh khas Bogor.
Tak ingin mengulang pengalaman pahit saat berdagang bakso dahulu, ia memikirkan matang-matang konsep usahanya.Selain kualitas terjamin, produknya harus mempunyai ciri khas yang lekat dengan Kota Bogor. Itulah konsep yang coba ia kembangkan saat itu. Ia pun teringat kue lapis khas Surabaya yang begitu populer, "Di Bogor belum ada lapis seperti itu," kata dia. Lantas, Rizka meminta resep dari ibunya yang ada di Surabaya. Agar nuansa Kota Hujan tampak, ia menggunakan talas yang berlimpah di Bogor. Ia mencoba bahan baku ubi talas sebagai pengganti terigu.
Modal awalnya uang Rp 500.000 dan mixer milik mertua, perempuan 29 tahun ini kemudian membuat lapis talas. Semula Rizka menjual lapis talas itu ke tetangga, teman, arisan, serta kelompok pengajian. Namun, dia menyadari gaya pemasaran semacam itu tak bisa mendongkrak penjualan secara cepat. Ia pun menawarkan lapis talas ke beberapa hotel di Bogor. Tapi Sayang, usaha itu gagal. Tak kurang akal, Rizka pun melobi pimpinan perhimpunan pengusaha hotel dan restoran di Bogor.
Ia mengenal jaringan pengusaha hotel dan resto karena aktif mengikuti pameran yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Dari situ, jalan bagi Rizka terbuka, "Hotel memberi kesempatan untuk membuka booth jika ada rombongan yang ingin membeli oleh-oleh," kata perempuan ayu berhijab ini. Rasa yang enak, tekstur lembut, serta harga yang terjangkau membuat lapis talas Rizka benar-benar menjadi buah tangan andalan Bogor. Bukan hanya tamu hotel saja tapi banyak pelancong yang mencari- cari kue lapis khas buatanya.
Kue lapis
Kue lapis yang sekarang bernama Lapis Sangkuriang diburu untuk dijadikan oleh- oleh untuk dibawa pulang. Rizka membuka gerai pertamanya di Jalan Baru pada Desember 2011, ini untuk memudahkan pelanggan katanya. Tahun berikutnya, dua gerai lain beroperasi. Kendati terlihat mulus, dia mengaku juga mengalami berbagai rintangan dalam perjalanan usahanya. Pernah, saat jumlah karyawan mencapai 60 orang, Rizka merasakan masalah datang silih berganti bahkan sempat berpikir untuk berhenti saja.
"Ketika itu, saya sempat berpikir mengakhiri usaha ini. Pusing mengelola banyak orang," kisah dia. Banyak karyawan yang direkrutnya merupakan anak-anak putus sekolah. Menurut Rizka, persentase anak jalanan, lulusan SD dan SMP yang menjadi karyawannya mencapai 77%. Sisanya adalah lulusan SMK dan ibu rumah tangga. “Kami ingin memberdayakan masyarakat sekitar yang memiliki potensi, namun tidak dapat berkarya di perusahaan formal karena faktor pendidikan,” ujar Rizka.
Inilah yang membuatnya harus bekerja ektra keras. Seorang teman lantas menyarankan Rizka untuk memakai jasa konsultan bisnis. Maklum lah meski sudah mengenyam pendidikan magister bisnis, ia mengakui tak bisa langsung mempraktikkan ilmunya di lapangan seperti ini. Ia pun mendapat banyak masukan dari konsultan bisnis tersebut. Sampai kini, Rizka masih menggunakan jasa konsultan bisnis untuk usahanya. Jumlah karyawan sudah mencapai 114 orang. Berkat pengelaman sebagai manejer memberinya pengalaman untuk mengatur orang.
Segala sesuatu ada catatannya. Misalnya tiap kelebihan keju 1 gram, dikali harga kejunya sudah berapa rupiaj. Kalau kami tidak punya catatan seperti itu, tidak akan bisa terdeteksi,” tutur Rizka, yang memegang prinsip ‘Believe is good but check is better’ dalam mengawasi kinerja karyawannya. Keahliannya di bidang electrical engineering juga tak sia-sia. Ia merancang sendiri pelistrikan dan pengaturan daya untuk pabrik barunya. Begitu juga keahliannya membuat program komputer, Rizka merancang sendiri software khusus untuk customer service.
Sekarang produksinya sudah mencapai 4.300 kotak per hari, harga per- kotak antara Rp25.000- Rp30.000. Dari modal Rp500.000, dari bisnis rumahan kini omzetnya mencapai miliaran rupiah per- bulan.nya Itu pun belum memenuhi permintaan pasar yang amat tinggi. Itulah sebabnya, ia masih membatasi pembelian, maksimal 5 kotak per orang, bahkan hanya 2 kotak ketika akhir pekan tiba. "Pagi buka langsung habis, baru ada lagi pukul 14.00. Masih ada jeda waktu konsumen tidak bisa kebagian," kata Rizka, menyayangkan.
sumber: finance.detik.com, wanitawirausaha.femina.co.id
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.